Kamis, Februari 21, 2013

Listrik Padam, serasa seperti di Aceh..


Sejak seminggu yang lalu hujan dan angin kencang melanda kota Brisbane, Australia. Sudah sebulan lebih kami disini, ini adalah hujan yang paling lebat yang kami rasakan. Keberadaan  saya  di kota ini adalah dalam rangka menemani suami yang sedang belajar meraih gelar Ph.d. Sejak hujan mulai turun ratusan rumah warga di daerah selatan Brisbane telah tenggelam oleh air. Banyak warga yang pergi untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Alhamdulillah daerah tempat kami tinggal termasuk dataran tinggi dan insyaallah tidak termasuk dalam map yang diprediksikan terkena banjir atau tergenang air.

Kejadian dua tahun yang lalu kembali terjadi saat musim hujan tiba di saat summer. Mungkin aneh kedengarannya, di saat musim panas yang suhunya sangat ekstrim, kebakaran hutan terjadi di beberapa tempat, namun esoknya ketika hujan turun tiada henti maka kejadian berbalik seratus derajat. Cuaca yang panas menjadi dingin dan keadaan yang kering menjadi banjir oleh banyaknya air hujan yang turun dan bendungan yang tidak mampu menampung air.

Angin kencang yang menyertai hujan ikut membuat jantung ini berdebar. Pepohonan tinggi dan besar yang tumbuh disepanjang jalan ikut berayun akibat kencangnya tiupan angin. Akibatnya listrikpun padam. “Innalillahi..”  spontan kalimah ini aku ucapkan. Suasana menjadi lebih sangat mengerikan. Angin kencang, hujan lebat dan gelap gulita diluar sana. Tidak ada persiapan apa-apa menghadapi padamnya listrik. Alhamdulillah ada sebuah lilin dilemari rumah peninggalan teman yang menempati rumah kami sebelum kami tinggal. Hanya sebuah lilin ini yang menjadi penerang sepanjang malam. Berharap listrik akan menyala beberapa saat kemudian. Namun, harapan tinggal harapan. Sampai esok pagi listrik tak kunjung hidup. Alhasil memasakpun tak bisa karena kompor untuk memasak juga menggunakan listrik. Syukur Alhamdulillah pagi itu kami mendapat lauk dari tetangga yang juga student, mereka bisa memasak karena kompor yang mereka gunakan menggunakan gas. Terbersit dalam hati, kalau andaikan di Aceh pasti tidak masalah dengan makanan jika tiada listrik. Masak nasi masih bisa dikompor dan menggiling bumbu masak masih bisa menggunakan batu giling atau cobek. Namun, suasana malam yang hanya diterangi cahaya lilin seperti ini betul-betul mengingatkan saya pada kampung halaman.

Ternyata harapan masih belum terpenuhi. Listrik masih padam hingga dua hari. Terpaksa menumpang masak nasi dan lauk dirumah teman yang juga student Indonesia tadi. Alhamdulillah, meskipun jauh dari keluarga, teman pun sudah seperti saudara sendiri. Ketergantungan pada listrik sangat besar disaat seperti ini. Memasak, penerangan, alat-alat elektronik dan kebutuhan air panas tidak ada karena semuanya menggunakan listrik. Hp dan laptop low batt, bahkan mati karena habis batrey. Bersyukur dalam hati karena sebenarnya warga yang terkena banjir lebih besar lagi penderitaannya. Rumah dan harta tenggelam,, listrik padam, air minum susah di dapat dan tinggal dalam pengungsian. Mungkin disinilah teruji kesabaran kita.
Alhamdulillah setelah dua hari dua malam tiada listrik, sekitar jam delapan malam waktu setempat listrik telah berhasil dinyalakan. Ucapan syukur terlontar dari mulut kami, juga di saat yang bersamaan terdengar teriakan gembira dari arah luar rumah. Semoga kejadian ini cepat berlalu, walaupun cuaca sudah mulai bersahabat, namun di daerah selatan Brisbane banjir masih menenggelamkan rumah-rumah penduduk setinggi 9 meter. Semoga Allah senantiasa melindungi saudara seiman kita yang tertimpa musibah banjir di daerah tersebut dan memberi hidayah atas musibah ini pada siapa saja yang dikehendakiNya. Bila Allah sudah berkehendak, maka tiada seorangpun yang dapat menghentikannya.

Brisbane, 31 Januari 2013