Sejak seminggu
yang lalu hujan dan angin kencang melanda kota Brisbane, Australia. Sudah
sebulan lebih kami disini, ini adalah hujan yang paling lebat yang kami
rasakan. Keberadaan saya di kota ini adalah dalam rangka menemani
suami yang sedang belajar meraih gelar Ph.d. Sejak hujan mulai turun ratusan
rumah warga di daerah selatan Brisbane telah tenggelam oleh air. Banyak warga
yang pergi untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Alhamdulillah daerah
tempat kami tinggal termasuk dataran tinggi dan insyaallah tidak termasuk dalam
map yang diprediksikan terkena banjir atau tergenang air.
Kejadian dua
tahun yang lalu kembali terjadi saat musim hujan tiba di saat summer. Mungkin
aneh kedengarannya, di saat musim panas yang suhunya sangat ekstrim, kebakaran
hutan terjadi di beberapa tempat, namun esoknya ketika hujan turun tiada henti
maka kejadian berbalik seratus derajat. Cuaca yang panas menjadi dingin dan
keadaan yang kering menjadi banjir oleh banyaknya air hujan yang turun dan
bendungan yang tidak mampu menampung air.
Angin kencang
yang menyertai hujan ikut membuat jantung ini berdebar. Pepohonan tinggi dan
besar yang tumbuh disepanjang jalan ikut berayun akibat kencangnya tiupan
angin. Akibatnya listrikpun padam. “Innalillahi..” spontan kalimah ini aku ucapkan. Suasana
menjadi lebih sangat mengerikan. Angin kencang, hujan lebat dan gelap gulita
diluar sana. Tidak ada persiapan apa-apa menghadapi padamnya listrik.
Alhamdulillah ada sebuah lilin dilemari rumah peninggalan teman yang menempati
rumah kami sebelum kami tinggal. Hanya sebuah lilin ini yang menjadi penerang
sepanjang malam. Berharap listrik akan menyala beberapa saat kemudian. Namun,
harapan tinggal harapan. Sampai esok pagi listrik tak kunjung hidup. Alhasil
memasakpun tak bisa karena kompor untuk memasak juga menggunakan listrik.
Syukur Alhamdulillah pagi itu kami mendapat lauk dari tetangga yang juga
student, mereka bisa memasak karena kompor yang mereka gunakan menggunakan gas.
Terbersit dalam hati, kalau andaikan di Aceh pasti tidak masalah dengan makanan
jika tiada listrik. Masak nasi masih bisa dikompor dan menggiling bumbu masak
masih bisa menggunakan batu giling atau cobek. Namun, suasana malam yang hanya
diterangi cahaya lilin seperti ini betul-betul mengingatkan saya pada kampung
halaman.
Ternyata harapan
masih belum terpenuhi. Listrik masih padam hingga dua hari. Terpaksa menumpang masak
nasi dan lauk dirumah teman yang juga student Indonesia tadi. Alhamdulillah,
meskipun jauh dari keluarga, teman pun sudah seperti saudara sendiri. Ketergantungan
pada listrik sangat besar disaat seperti ini. Memasak, penerangan, alat-alat
elektronik dan kebutuhan air panas tidak ada karena semuanya menggunakan listrik.
Hp dan laptop low batt, bahkan mati karena habis batrey. Bersyukur dalam hati
karena sebenarnya warga yang terkena banjir lebih besar lagi penderitaannya.
Rumah dan harta tenggelam,, listrik padam, air minum susah di dapat dan tinggal
dalam pengungsian. Mungkin disinilah teruji kesabaran kita.
Alhamdulillah
setelah dua hari dua malam tiada listrik, sekitar jam delapan malam waktu
setempat listrik telah berhasil dinyalakan. Ucapan syukur terlontar dari mulut
kami, juga di saat yang bersamaan terdengar teriakan gembira dari arah luar
rumah. Semoga kejadian ini cepat berlalu, walaupun cuaca sudah mulai bersahabat,
namun di daerah selatan Brisbane banjir masih menenggelamkan rumah-rumah
penduduk setinggi 9 meter. Semoga Allah senantiasa melindungi saudara seiman
kita yang tertimpa musibah banjir di daerah tersebut dan memberi hidayah atas
musibah ini pada siapa saja yang dikehendakiNya. Bila Allah sudah berkehendak,
maka tiada seorangpun yang dapat menghentikannya.
Brisbane, 31
Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar